1. Uang dari batu (Pulau Yap, Kep. Solomon)
Di Pulau Yap, sebuah pulau yang merupakan bagian dari Kepulauan Solomon, Anda akan menemukan “uang” terbesar dan teraneh di dunia yang terbuat dari batu yang disebut Rai (semacam batu kapur). Uang ini berbentuk lingkaran dengan diameter 12 kaki dan berat 8 ton.
Entah sejarah atau kepercayaan apa yang menyebabkan masyarakat di Pulau Yap ini sangat mensakralkan batu ini, mungkin sama seperti masyarakat modern sangat mengagungkan batu emas.
Konon katanya, mata uang batu ini tidak berasal dari pulau itu. Dahulu kala masyarakata Pulau Yap rela berpetualang keliling dunia mencari batu ini. Nilai nominal dari mata uang batu ini di nilai bukan hanya berdasarkan ukuran, tapi juga dinilai berdasarkan pengorbanan mendatangkannya ke Pulau Yap, termasuk jumlah nyawa yang melayang karena pengorbanan tersebut.
2. Koin perak paling religius (Kep. Palau)
Jika di uang kertas US dolar ada “In God We Trust”, maka negara Kepulauan Palau selangkah lebih maju. Negara ini pada tahun 2007 mencetak koin perak dengan gambar perawan suci dan menyertakan bonus botol kecil berisi beberapa tetes air suci dari sebuah mata air suci di Lourdes Prancis. Wah, jelas ini lebih religius.
3. Modifikasi uang pascakudeta (Zaire)
Saat rezim Joseph Mobutu dikudeta pada tahun 1997 di Zaire (yang sekarang bernama The Democratic Republic of the Congo) Pemerintahan yang baru saat itu terlalu sibuk untuk mendesain dan mencetak uang baru selain karena jumlah uang saat itu terbatas pula. Maka mata uang lama pun tetap digunakan, hanya saja muka penguasa rezim sebelumnya digunting.
4. Uang pecahan terbesar (Hungaria)Inilah pecahan mata uang pemegang rekor sampai saat ini. Di cetak oleh Hungaria pada tahun 1946 dengan nominal 100,000,000,000,000,000,000 Pengo. Ya! Seratus juta triliun Pengo dengan kurs saat itu hanya sekitar 20 US cent. Lihat saja, sampai jumlah nolnya pun tidak mungkin tercetak di sana.
5. Uang kumpulan voucher (Vietnam)
Jika kita pernah berpikir bahwa uang bisa membeli segalanya, ternyata tidak. Uang Vietnam di tahun 70an ini berlaku sebagai kumpulan potongan voucher yang hanya bisa digunakan untuk membeli pakaian dan perlengkapannya.
6. Uang dengan ancaman hukuman mati (Amerika, saat masih dijajah inggris)
US Dollar memang telah menjadi mata uang yang paling stabil dan dianggap sebagai safe heaven currency. Jika dilihat dari sejarahnya, mata uang ini telah banyak berpengalaman dalam memerangi para pemalsu. Pada masa-masa awal penjajahan Inggris, sangatlah mudah untuk mencetak uang karena banyak alat cetak beredar dan desain cetakan uang tidaklah terlalu rumit seperti sekarang. Untuk mengatasi hal itu, maka pihak kerajaan mengeluarkan jenis mata uang bagi negara koloni itu berikut dengan ancaman mati. Waduh, sadis ya..?
7. Uang dari lembaran kayu (Jerman)
Uang dari lembaran kayu ini pernah digunakan sebagai uang darurat di jerman semasa pemulihan pascaPerang Dunia I. Saking daruratnya, uang dicetak juga dari alumunium foil, kain sutra, bahkan kartu remi sisa-sisa perang. Seorang kolektor pasti bakal berani membayar mahal untuk uang-uang aneh ini, yang paling mahal adalah batu yang dicetak jadi uang koin pada masa tersebut
WELCOME TO MY BLOG
***LABEL***
- 7 popular (8)
- biodata (3)
- cerita (25)
- FOTO FILM KOREA (5)
- FOTO KOREA (2)
- lirik lagu korea (7)
- sinopsis (5)
16 Sep 2011
12 Jun 2011
7 Film animasi terbaik sepanjang masa
1. Up
Up adalah sebuah film animasi produksi Pixar Animation Studios yang didistribusikan oleh Walt Disney Pictures. Up diputar perdana pada 29 Mei 2009 dalam Cannes Film Festival, dan mencatat sejarah sebagai film animasi pertama yang diputar dalam acara tersebut.
2. Madagascar
Madagascar adalah sebuah film animasi Amerika Serikat yang dirilis pada tanggal 27 Mei 2005. Film yang disutradarai oleh Eric Darnell. Pemainnya ialah Chris Rock, Ben Stiller, Jada Pinkett Smith, David Schwimmer, Sacha Baron Cohen, Cedric the Entertainer, dan Andy Richter.
3. Kungfu Panda
Kung Fu Panda adalah sebuah film animasi Amerika Serikat yang dirilis pada tanggal 6 Juni 2008. Film ini disutradarai oleh Mark Osborne dan John Stevenson. Pengisi suara dalam film animasi ini antara lain ialah Jack Black, Dustin Hoffman, Angelina Jolie, Lucy Liu, Seth Rogen, David Cross, Ian McShane, dan Jackie Chan.
4. Shrek
Shrek merupakan sebuah film animasi buatan Amerika Serikat yang disutradarai oleh Andrew Adamson dan Vicky Jenson, dan pengisi suaranya adalah Mike Myers, Eddie Murphy, Cameron Diaz, dan John Lithgow. Film ini diadaptasi dari sebuah buku dongeng bergambar yang berjudul Shrek! karya William Steig pada tahun 1990. Film ini diproduksi oleh DreamWorks Animation. Shrek adalah film pertama yang memenangkan Academy Award untuk fitur film animasi terbaik, sebuah kategori yang pertama kali dianugerahkan pada tahun 2001. Shrek telah dirilis dalam bentuk DVD dan VHS pada 4 September 2001.
5. Ice Age
Ice Age adalah sebuah film animasi CGI yag dibuat oleh Blue Sky Studios dan dirilis oleh 20th Century Fox pada 15 Maret 2002. Film ini disutradarai oleh Carlos Saldanha dan Chris Wedge, cerita ditulis oleh Michael J. Wilson. Pemainnya ialah Ray Romano, John Leguizamo, Denis Leary, dan Jack Black. Sekuel dari film ini berjudul Ice Age: The Meltdown yang dirilis pada tahun 2006, kemudian akan dilanjutkan dengan sekuel yang berjudul Ice Age: Dawn of the Dinosaurs yang dirilis pada tahun 2009. Awalnya, film ini akan disutradarai oleh Don Bluth dan Gary Goldman dalam format film animasi 2D untuk perusahaan Fox Animation Studios, dengan berkembangnya animasi CGI dan kegagalan film Titan A.E. yang mengalahkan tradisi pembuatan film animasi bagi perusahaan animasi Fox, akhirnya Bluth dan Goldman menyerahkan proyek ini untuk ditangani oleh Chris Wedge dan Carlos Saldanha dari Blue Sky Studios yang merupakan bagian dari perusahaan Fox untuk animasi CGI.
6. Aladin
Aladdin adalah sebuah film animasi diproduksi oleh Walt Disney Feature Animation dan dirilis oleh Walt Disney Pictures pada tanggal 25 November 1992. Kisah film ini diadaptasi dari kisah Aladdin dan lampu ajaib dari The Book of One Thousand and One Nights. Sekuel film ini, The Return of Jafar dirilis pada tahun 1994.
7. Mulan
Mulan adalah sebuah film animasi produksi Walt Disney Feature Animation dan pertama kali dirilis pada 5 Juni 1998 oleh Walt Disney Pictures dan Buena Vista Distribution. Film ini disutradarai Tony Bancroft dan Barry Cook, ceritanya ditulis oleh Robert D. San Souci yang mengambil ide dasar dari legenda Tionghoa tentang Hua Mulan.
Mulan merupakan salah satu dari sedikit karakter wanita Disney yang bukan seorang putri atau seorang wanita yang sangat cantik melainkan karakter wanita yang kuat dan tegas. Seluruh karakter digambar berdasarkan seni Tionghoa. Kehadiran teman-teman binatang Mulan juga membawa sesuatu yang baru bagi penonton karena biasanya binatang dijadikan tokoh yang jahat.
Up adalah sebuah film animasi produksi Pixar Animation Studios yang didistribusikan oleh Walt Disney Pictures. Up diputar perdana pada 29 Mei 2009 dalam Cannes Film Festival, dan mencatat sejarah sebagai film animasi pertama yang diputar dalam acara tersebut.
2. Madagascar
Madagascar adalah sebuah film animasi Amerika Serikat yang dirilis pada tanggal 27 Mei 2005. Film yang disutradarai oleh Eric Darnell. Pemainnya ialah Chris Rock, Ben Stiller, Jada Pinkett Smith, David Schwimmer, Sacha Baron Cohen, Cedric the Entertainer, dan Andy Richter.
3. Kungfu Panda
Kung Fu Panda adalah sebuah film animasi Amerika Serikat yang dirilis pada tanggal 6 Juni 2008. Film ini disutradarai oleh Mark Osborne dan John Stevenson. Pengisi suara dalam film animasi ini antara lain ialah Jack Black, Dustin Hoffman, Angelina Jolie, Lucy Liu, Seth Rogen, David Cross, Ian McShane, dan Jackie Chan.
4. Shrek
Shrek merupakan sebuah film animasi buatan Amerika Serikat yang disutradarai oleh Andrew Adamson dan Vicky Jenson, dan pengisi suaranya adalah Mike Myers, Eddie Murphy, Cameron Diaz, dan John Lithgow. Film ini diadaptasi dari sebuah buku dongeng bergambar yang berjudul Shrek! karya William Steig pada tahun 1990. Film ini diproduksi oleh DreamWorks Animation. Shrek adalah film pertama yang memenangkan Academy Award untuk fitur film animasi terbaik, sebuah kategori yang pertama kali dianugerahkan pada tahun 2001. Shrek telah dirilis dalam bentuk DVD dan VHS pada 4 September 2001.
5. Ice Age
Ice Age adalah sebuah film animasi CGI yag dibuat oleh Blue Sky Studios dan dirilis oleh 20th Century Fox pada 15 Maret 2002. Film ini disutradarai oleh Carlos Saldanha dan Chris Wedge, cerita ditulis oleh Michael J. Wilson. Pemainnya ialah Ray Romano, John Leguizamo, Denis Leary, dan Jack Black. Sekuel dari film ini berjudul Ice Age: The Meltdown yang dirilis pada tahun 2006, kemudian akan dilanjutkan dengan sekuel yang berjudul Ice Age: Dawn of the Dinosaurs yang dirilis pada tahun 2009. Awalnya, film ini akan disutradarai oleh Don Bluth dan Gary Goldman dalam format film animasi 2D untuk perusahaan Fox Animation Studios, dengan berkembangnya animasi CGI dan kegagalan film Titan A.E. yang mengalahkan tradisi pembuatan film animasi bagi perusahaan animasi Fox, akhirnya Bluth dan Goldman menyerahkan proyek ini untuk ditangani oleh Chris Wedge dan Carlos Saldanha dari Blue Sky Studios yang merupakan bagian dari perusahaan Fox untuk animasi CGI.
6. Aladin
Aladdin adalah sebuah film animasi diproduksi oleh Walt Disney Feature Animation dan dirilis oleh Walt Disney Pictures pada tanggal 25 November 1992. Kisah film ini diadaptasi dari kisah Aladdin dan lampu ajaib dari The Book of One Thousand and One Nights. Sekuel film ini, The Return of Jafar dirilis pada tahun 1994.
7. Mulan
Mulan adalah sebuah film animasi produksi Walt Disney Feature Animation dan pertama kali dirilis pada 5 Juni 1998 oleh Walt Disney Pictures dan Buena Vista Distribution. Film ini disutradarai Tony Bancroft dan Barry Cook, ceritanya ditulis oleh Robert D. San Souci yang mengambil ide dasar dari legenda Tionghoa tentang Hua Mulan.
Mulan merupakan salah satu dari sedikit karakter wanita Disney yang bukan seorang putri atau seorang wanita yang sangat cantik melainkan karakter wanita yang kuat dan tegas. Seluruh karakter digambar berdasarkan seni Tionghoa. Kehadiran teman-teman binatang Mulan juga membawa sesuatu yang baru bagi penonton karena biasanya binatang dijadikan tokoh yang jahat.
4 Mei 2011
Ninochka
Cerpen Anton Chekhov
PINTU terbuka perlahan dan Pavel Sergeyevich Vikhlyenev, sahabat lamaku, muncul dari balik pintu. Meski masih muda ia penyakitan, terlihat tua, ditambah perawakannya yang berbahu tegap, kurus kering dengan hidung panjangnya. Benar-benar sosok yang tidak menarik! Namun, di sisi lain ia memiliki wajah yang ramah, lembut, juga tegas. Setiap kau memandang wajahnya kau akan berkeinginan untuk meraba dengan jari-jarimu, merasakan dengan sungguh-sungguh kehangatan yang dimilikinya. Seperti umumnya kutu buku, temanku dikenal sebagai orang yang pendiam, kalem, dan pemalu. Ditambah lagi saat ini wajahnya terlihat agak pucat dan sangat gelisah tak seperti biasanya.
"Ada apa denganmu, teman?" tanyaku sambil melirik wajahnya yang pucat dan bibirnya yang gemetar. "Kau sedang sakit atau ada masalah lagi dengan istrimu? Kau tak terlihat seperti biasanya!"
Dengan sedikit ragu Vikhlyenev mendehem dan dengan sikap putus asa ia mulai bercerita, "Ya, dengan Ninochka lagi. Aku sangat gelisah, tak bisa tidur semalaman, dan seperti yang kau lihat aku bagaikan mayat hidup. Kurang ajar, orang-orang bisa saja tak terganggu dengan masalah ini. Mereka menganggap enteng rasa sakit, kehilangan seseorang, dan terluka. Namun, hal sepele ini bisa membuatku kecewa dan tertekan."
"Tetapi, ada apa?"
"Sebenarnya hal yang sepele. Drama dalam sebuah keluarga. Namun, akan kuceritakan semuanya kalau kau berkenan untuk mendengarkannya. Kemarin Ninochka tak pergi keluar seperti biasanya. Ia merencanakan untuk menghabiskan sore bersamaku dengan tinggal di rumah. Tentu saja aku sangat bahagia. Dia selalu keluar untuk menjumpai seseorang, dan sejak itu aku selalu berada di rumah sendirian setiap malam. Kau bisa bayangkan betapa...yah…gembiranya aku saat itu. Namun, kau belum menikah. Jadi, kau belum bisa merasakan betapa hangat dan menyenangkan ketika kau pulang bekerja dan menemukan…ah istrimu sedang menunggu di rumah!"
Temanku, Vikhlyenev, memaparkan kehidupan pernikahan yang menyenangkan. Lalu ia menyeka keringat di dahinya dan kembali bercerita.
"Ninochka mengira akan menyenangkan menghabiskan malam bersamaku. Ya, kau tahu bukan, bahwa aku adalah orang yang sangat membosankan dan jauh dari cerdas. Takkan menyenangkan untuk jalan bersamaku. Aku selalu bersama dengan kertas-kertas kerja dan asap rokok. Aku bahkan tak pernah bermain keluar, berdansa, atau berkelakar. Dan kau pasti tahu benar bahwa Ninochka adalah orang yang menyenangkan. Juga masih sangat berjiwa muda. Bukankah begitu?
Ya, ah aku mulai menunjukkan hal-hal kecil, foto-foto serta hal lainnya. Aku juga menceritakan beberapa cerita…dan tiba-tiba aku teringat surat-surat yang aku simpan lama di mejaku. Beberapa surat tersebut isinya sangat lucu. Waktu aku masih sekolah aku punya teman yang pandai menulis surat. Jika kau membacanya maka perutmu pasti sakit karena tertawa terbahak-bahak! Kuambil surat itu dari dalam meja dan mulai membaca satu per satu untuk Ninochka. Pertama, kedua, ketiga, dan semuanya berantakan. Hanya karena satu surat di mana ia membaca kalimat "salam manis dari Katya". Istriku yang cemburu itu kalimat-kalimatnya seperti pisau yang tajam dan Ninochka seperti Othello dalam pakaian wanita!
Pertanyaan-pertanyaan yang tak menyenangkan memenuhi kepalaku: siapa Katya, bagaimana dan mengapa, kucoba terangkan pada Ninochka bahwa dia adalah masa laluku, cinta pertama pada masa mudaku, sangat mustahil melekat di ingatanku karena tak ada yang penting untuk diingat. Setiap orang di masa mudanya memiliki seorang "Katya". Itu kataku mencoba menjelaskan pada Ninochka dan sangat mustahil jika seseorang tak memilikinya. Namun, Ninochka sama sekali tak mau mendengarkan. Ia membayangkan yang tidak-tidak! Dan mulai menangis dengan histeris.
’Kau sangat jahat!’ ia menjerit, ’Kau menyembunyikan masa lalumu padaku! Mungkin saja kau juga memiliki seseorang seperti Katya saat ini dan kau menyembunyikannya padaku!’ Aku coba dan terus mencoba meyakinkan padanya, namun ia sama sekali tak mendengar. Logika laki-laki memang tak akan berguna untuk seorang wanita. Akhirnya aku berlutut memohon maaf. Aku membungkuk dan kau tahu yang dia lakukan? Ia pergi ke kamar dan membiarkanku di sofa ruang kerja. Pagi itu ia sinis padaku, tak mau melihatku dan bicara seakan aku ini orang asing. Dia mengancam akan pulang ke rumah ibunya dan aku yakin dia akan melakukannya. Aku tahu dia!"
"Oh, bukan cerita yang menyenangkan."
"Wanita memang tak bisa dimengerti, ya. Ninochka masih muda, masih hijau, dan sensitif. Tak bisa dikejutkan oleh sesuatu yang meskipun sangat sederhana. Begitu sulitkah memaafkan meski aku telah sangat memohon, aku telah berlutut padanya, bahkan aku menangis!"
"Ya, ya, wanita memang sebuah teka-teki yang sangat sulit!"
"Teman, kau punya pengaruh besar bagi Ninochka. Dia sangat menghormatimu. Dia memandangmu sebagai orang yang berwibawa. Tolong, temuilah dia! Gunakan pengaruhmu untuk mengatakan bahwa apa yang dipikirkannya itu salah. Aku sangat menderita. Jika ini terus saja berlangsung aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Tolonglah!"
"Tapi, apakah ini tepat?"
"Mengapa tidak? Kau dan dia berteman sejak kecil. Dia percaya padamu. Sebagai teman, tolonglah aku!"
Tangisan dan permohonan Vikhlyenev menyentuh hatiku. Dengan segera aku berpakaian dan menemui istrinya. Kutemui Ninochka di tempat favoritnya: duduk di sofa dengan kaki menyilang, mengedipkan matanya yang indah dan sedang tidak melakukan apa-apa. Ketika aku datang ia segera meloncat dan berlari padaku. Memperhatikan sekeliling, menutup pintu, dan dengan gembira memeluk leherku. (Pembaca, tentu saja ini tidak salah ketik. Dalam setahun ini, aku telah berhubungan intim dengan istri Vikhleyenev).
"Pikiran jahat apa yang ada dalam pikiranmu sekarang?" tanyaku sembari mendudukkan Ninochka di dekatku.
"Apa maksudmu?"
"Lagi-lagi kau menyiksa suamimu. Ia datang padaku dan menceritakan semuanya."
"Oh… rupanya dia menemukan orang untuk mengadu!"
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Ah, tidak begitu penting. Aku sedang bosan semalam dan merasa kesal karena tak tahu harus pergi ke mana. Karena rasa jengkel aku mulai meracau tentang ’Katya’. Aku mulai menangis karena rasa bosan, jadi bagaimana aku bisa menjelaskan kepadanya?"
"Tapi, kau tahu sayang. Itu sangat jahat dan tidak manusiawi. Dia sangat takut dan terganggu dengan ulahmu."
"Ah, itu hal yang sepele. Dia sangat suka ketika aku berpura-pura cemburu, tak ada yang lebih bagus selain berakting cemburu. Tapi, sudahlah! Lupakan saja. Aku tidak suka kita membicarakan hal ini, aku sudah menyerah. Kau mau minum teh?"
"Tapi sayang, berhentilah menyiksa dia. Kau tahu bukankah dia terlihat sangat menyedihkan. Dia menceritakan semuanya padaku, bahwa dia benar-benar jatuh cinta padamu dan itu sangat tidak mengenakkan. Kontrol dirimu! Tunjukkan kasih sayangmu. Satu kalimat omong kosong akan membuatnya sangat bahagia."
Ninochka cemberut dan merengut, namun beberapa saat ketika Vikhleyenev datang dengan keraguan yang tergambar jelas di mukanya, Ninochka tersenyum dan menunjukkan kasih sayang padanya.
"Kau datang di saat yang tepat, waktunya minum teh," ujar Ninochka pada suaminya, "Pintar sekali kamu sayang. Tak pernah datang terlambat. Kau mau dengan jeruk atau susu?"
Vikhleyenev yang tak mengira akan disambut seperti itu, perlahan-lahan mendekati istrinya. Mencium tangan Ninochka dengan hangat serta merangkulku. Pelukan yang aneh dan sangat cepat, membuat aku dan Ninochka menjadi malu.
"Berkatilah sang pencipta kedamaian!" teriak sang suami yang bahagia. "Kau telah membuat ia mau mengerti. Mengapa? Karena kau memang laki-laki sejati. Bisa bergaul dengan banyak orang dan kau tahu titik kelemahan wanita. Hahaha…aku bodoh sekali! Ketika hanya satu kata yang diperlukan, aku menggunakan sepuluh kata. Ketika hanya harus mencium tangan istriku, aku melakukan hal lain. Hahaha…"
Setelah minum teh Vikhlyenev memintaku untuk ke kamar kerjanya. Menahanku berbicara dan dengan suara lirih ia berucap, "Aku tak tahu bagaimana berterima kasih padamu, teman. Aku sangat menderita dan tersiksa. Namun, kini aku luar biasa bahagia, dan ini bukan pertama kalinya kau menolongku dari masalah yang mengerikan. Teman, kumohon jangan menolak jika aku ingin memberimu…ini! Lokomotif mini yang kubuat sendiri, aku mendapatkan penghargaan atas penemuan ini. Ambillah sebagai rasa terima kasihku, juga sebagai tanda pertemanan kita. Terimalah demi aku!"
Dengan berbagai cara aku menolak pemberian tersebut, namun Vikhlyenev terus-menerus memaksaku. Mau tidak mau aku harus menerima hadiah yang sangat berharga itu.
Hari, minggu, bulan pun berlalu. Cepat atau lambat keburukan akan tersingkap dan diketahui olehnya. Ketika tanpa sengaja Vikhlyenev tahu akan semua kebenaran tentang aku dan istrinya ia sangat terkejut, pucat, terduduk di sofa dengan pandangan kosong ke langit-langit tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ekspresi sakit hati diungkapkannya dengan bahasa tubuh. Ia berpindah dari satu sofa ke sofa lain dengan perasaan yang sangat menderita sekali. Gerak-geriknya dipengaruhi oleh kesedihan.
Seminggu kemudian, setelah menenangkan pikiran karena berita yang amat mengejutkan tersebut, Vikhlyenev datang menemuiku. Kami berdua saling menghindar dan jengah. Aku mencoba berceloteh tentang kebebasan cinta, egoisme hubungan perkawinan, dan takdir yang tak bisa dielakkan.
"Bukan itu yang ingin kubicarakan," katanya memotong, "Tentang hal itu aku sangat mengerti. Membicarakan perasaan siapa pun tak bisa disalahkan. Yang aku khawatirkan adalah hal lain. Hal yang sebenarnya tak berarti. Kau tahu sendiri, aku sama sekali tak mengerti tentang hidup, di mana kehidupan yang sebenarnya, dan kebiasaan masyarakat yang harus diperhatikan, misalnya. Aku orang yang benar-benar belum berpengalaman. Jadi, tolonglah teman! Katakan padaku apa yang harus dilakukan Ninochka sekarang? Tinggal bersamaku atau dia harus pindah bersamamu?"
Dengan kepala dingin kami membicarakan hal tersebut dan akhirnya kami menemukan jalan tengah. Ninochka tetap tinggal bersama suaminya, dan aku bisa menemuinya kapan pun. Karenanya, ia memakai kamar yang ada di pojok yang dulunya adalah gudang. Kamar itu agak gelap dan lembab, pintu kamarnya berhubungan langsung dengan dapur. Namun, pada akhirnya Vikhlyenev menembak dirinya sendiri tanpa menyusahkan orang lain. ***
1885
(Diterjemahkan oleh Nunung Deni Puspitasari dari Anton Chekhov Selected Stories, The New American Library of World Literature, Second Printing, August 1963)
PINTU terbuka perlahan dan Pavel Sergeyevich Vikhlyenev, sahabat lamaku, muncul dari balik pintu. Meski masih muda ia penyakitan, terlihat tua, ditambah perawakannya yang berbahu tegap, kurus kering dengan hidung panjangnya. Benar-benar sosok yang tidak menarik! Namun, di sisi lain ia memiliki wajah yang ramah, lembut, juga tegas. Setiap kau memandang wajahnya kau akan berkeinginan untuk meraba dengan jari-jarimu, merasakan dengan sungguh-sungguh kehangatan yang dimilikinya. Seperti umumnya kutu buku, temanku dikenal sebagai orang yang pendiam, kalem, dan pemalu. Ditambah lagi saat ini wajahnya terlihat agak pucat dan sangat gelisah tak seperti biasanya.
"Ada apa denganmu, teman?" tanyaku sambil melirik wajahnya yang pucat dan bibirnya yang gemetar. "Kau sedang sakit atau ada masalah lagi dengan istrimu? Kau tak terlihat seperti biasanya!"
Dengan sedikit ragu Vikhlyenev mendehem dan dengan sikap putus asa ia mulai bercerita, "Ya, dengan Ninochka lagi. Aku sangat gelisah, tak bisa tidur semalaman, dan seperti yang kau lihat aku bagaikan mayat hidup. Kurang ajar, orang-orang bisa saja tak terganggu dengan masalah ini. Mereka menganggap enteng rasa sakit, kehilangan seseorang, dan terluka. Namun, hal sepele ini bisa membuatku kecewa dan tertekan."
"Tetapi, ada apa?"
"Sebenarnya hal yang sepele. Drama dalam sebuah keluarga. Namun, akan kuceritakan semuanya kalau kau berkenan untuk mendengarkannya. Kemarin Ninochka tak pergi keluar seperti biasanya. Ia merencanakan untuk menghabiskan sore bersamaku dengan tinggal di rumah. Tentu saja aku sangat bahagia. Dia selalu keluar untuk menjumpai seseorang, dan sejak itu aku selalu berada di rumah sendirian setiap malam. Kau bisa bayangkan betapa...yah…gembiranya aku saat itu. Namun, kau belum menikah. Jadi, kau belum bisa merasakan betapa hangat dan menyenangkan ketika kau pulang bekerja dan menemukan…ah istrimu sedang menunggu di rumah!"
Temanku, Vikhlyenev, memaparkan kehidupan pernikahan yang menyenangkan. Lalu ia menyeka keringat di dahinya dan kembali bercerita.
"Ninochka mengira akan menyenangkan menghabiskan malam bersamaku. Ya, kau tahu bukan, bahwa aku adalah orang yang sangat membosankan dan jauh dari cerdas. Takkan menyenangkan untuk jalan bersamaku. Aku selalu bersama dengan kertas-kertas kerja dan asap rokok. Aku bahkan tak pernah bermain keluar, berdansa, atau berkelakar. Dan kau pasti tahu benar bahwa Ninochka adalah orang yang menyenangkan. Juga masih sangat berjiwa muda. Bukankah begitu?
Ya, ah aku mulai menunjukkan hal-hal kecil, foto-foto serta hal lainnya. Aku juga menceritakan beberapa cerita…dan tiba-tiba aku teringat surat-surat yang aku simpan lama di mejaku. Beberapa surat tersebut isinya sangat lucu. Waktu aku masih sekolah aku punya teman yang pandai menulis surat. Jika kau membacanya maka perutmu pasti sakit karena tertawa terbahak-bahak! Kuambil surat itu dari dalam meja dan mulai membaca satu per satu untuk Ninochka. Pertama, kedua, ketiga, dan semuanya berantakan. Hanya karena satu surat di mana ia membaca kalimat "salam manis dari Katya". Istriku yang cemburu itu kalimat-kalimatnya seperti pisau yang tajam dan Ninochka seperti Othello dalam pakaian wanita!
Pertanyaan-pertanyaan yang tak menyenangkan memenuhi kepalaku: siapa Katya, bagaimana dan mengapa, kucoba terangkan pada Ninochka bahwa dia adalah masa laluku, cinta pertama pada masa mudaku, sangat mustahil melekat di ingatanku karena tak ada yang penting untuk diingat. Setiap orang di masa mudanya memiliki seorang "Katya". Itu kataku mencoba menjelaskan pada Ninochka dan sangat mustahil jika seseorang tak memilikinya. Namun, Ninochka sama sekali tak mau mendengarkan. Ia membayangkan yang tidak-tidak! Dan mulai menangis dengan histeris.
’Kau sangat jahat!’ ia menjerit, ’Kau menyembunyikan masa lalumu padaku! Mungkin saja kau juga memiliki seseorang seperti Katya saat ini dan kau menyembunyikannya padaku!’ Aku coba dan terus mencoba meyakinkan padanya, namun ia sama sekali tak mendengar. Logika laki-laki memang tak akan berguna untuk seorang wanita. Akhirnya aku berlutut memohon maaf. Aku membungkuk dan kau tahu yang dia lakukan? Ia pergi ke kamar dan membiarkanku di sofa ruang kerja. Pagi itu ia sinis padaku, tak mau melihatku dan bicara seakan aku ini orang asing. Dia mengancam akan pulang ke rumah ibunya dan aku yakin dia akan melakukannya. Aku tahu dia!"
"Oh, bukan cerita yang menyenangkan."
"Wanita memang tak bisa dimengerti, ya. Ninochka masih muda, masih hijau, dan sensitif. Tak bisa dikejutkan oleh sesuatu yang meskipun sangat sederhana. Begitu sulitkah memaafkan meski aku telah sangat memohon, aku telah berlutut padanya, bahkan aku menangis!"
"Ya, ya, wanita memang sebuah teka-teki yang sangat sulit!"
"Teman, kau punya pengaruh besar bagi Ninochka. Dia sangat menghormatimu. Dia memandangmu sebagai orang yang berwibawa. Tolong, temuilah dia! Gunakan pengaruhmu untuk mengatakan bahwa apa yang dipikirkannya itu salah. Aku sangat menderita. Jika ini terus saja berlangsung aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Tolonglah!"
"Tapi, apakah ini tepat?"
"Mengapa tidak? Kau dan dia berteman sejak kecil. Dia percaya padamu. Sebagai teman, tolonglah aku!"
Tangisan dan permohonan Vikhlyenev menyentuh hatiku. Dengan segera aku berpakaian dan menemui istrinya. Kutemui Ninochka di tempat favoritnya: duduk di sofa dengan kaki menyilang, mengedipkan matanya yang indah dan sedang tidak melakukan apa-apa. Ketika aku datang ia segera meloncat dan berlari padaku. Memperhatikan sekeliling, menutup pintu, dan dengan gembira memeluk leherku. (Pembaca, tentu saja ini tidak salah ketik. Dalam setahun ini, aku telah berhubungan intim dengan istri Vikhleyenev).
"Pikiran jahat apa yang ada dalam pikiranmu sekarang?" tanyaku sembari mendudukkan Ninochka di dekatku.
"Apa maksudmu?"
"Lagi-lagi kau menyiksa suamimu. Ia datang padaku dan menceritakan semuanya."
"Oh… rupanya dia menemukan orang untuk mengadu!"
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Ah, tidak begitu penting. Aku sedang bosan semalam dan merasa kesal karena tak tahu harus pergi ke mana. Karena rasa jengkel aku mulai meracau tentang ’Katya’. Aku mulai menangis karena rasa bosan, jadi bagaimana aku bisa menjelaskan kepadanya?"
"Tapi, kau tahu sayang. Itu sangat jahat dan tidak manusiawi. Dia sangat takut dan terganggu dengan ulahmu."
"Ah, itu hal yang sepele. Dia sangat suka ketika aku berpura-pura cemburu, tak ada yang lebih bagus selain berakting cemburu. Tapi, sudahlah! Lupakan saja. Aku tidak suka kita membicarakan hal ini, aku sudah menyerah. Kau mau minum teh?"
"Tapi sayang, berhentilah menyiksa dia. Kau tahu bukankah dia terlihat sangat menyedihkan. Dia menceritakan semuanya padaku, bahwa dia benar-benar jatuh cinta padamu dan itu sangat tidak mengenakkan. Kontrol dirimu! Tunjukkan kasih sayangmu. Satu kalimat omong kosong akan membuatnya sangat bahagia."
Ninochka cemberut dan merengut, namun beberapa saat ketika Vikhleyenev datang dengan keraguan yang tergambar jelas di mukanya, Ninochka tersenyum dan menunjukkan kasih sayang padanya.
"Kau datang di saat yang tepat, waktunya minum teh," ujar Ninochka pada suaminya, "Pintar sekali kamu sayang. Tak pernah datang terlambat. Kau mau dengan jeruk atau susu?"
Vikhleyenev yang tak mengira akan disambut seperti itu, perlahan-lahan mendekati istrinya. Mencium tangan Ninochka dengan hangat serta merangkulku. Pelukan yang aneh dan sangat cepat, membuat aku dan Ninochka menjadi malu.
"Berkatilah sang pencipta kedamaian!" teriak sang suami yang bahagia. "Kau telah membuat ia mau mengerti. Mengapa? Karena kau memang laki-laki sejati. Bisa bergaul dengan banyak orang dan kau tahu titik kelemahan wanita. Hahaha…aku bodoh sekali! Ketika hanya satu kata yang diperlukan, aku menggunakan sepuluh kata. Ketika hanya harus mencium tangan istriku, aku melakukan hal lain. Hahaha…"
Setelah minum teh Vikhlyenev memintaku untuk ke kamar kerjanya. Menahanku berbicara dan dengan suara lirih ia berucap, "Aku tak tahu bagaimana berterima kasih padamu, teman. Aku sangat menderita dan tersiksa. Namun, kini aku luar biasa bahagia, dan ini bukan pertama kalinya kau menolongku dari masalah yang mengerikan. Teman, kumohon jangan menolak jika aku ingin memberimu…ini! Lokomotif mini yang kubuat sendiri, aku mendapatkan penghargaan atas penemuan ini. Ambillah sebagai rasa terima kasihku, juga sebagai tanda pertemanan kita. Terimalah demi aku!"
Dengan berbagai cara aku menolak pemberian tersebut, namun Vikhlyenev terus-menerus memaksaku. Mau tidak mau aku harus menerima hadiah yang sangat berharga itu.
Hari, minggu, bulan pun berlalu. Cepat atau lambat keburukan akan tersingkap dan diketahui olehnya. Ketika tanpa sengaja Vikhlyenev tahu akan semua kebenaran tentang aku dan istrinya ia sangat terkejut, pucat, terduduk di sofa dengan pandangan kosong ke langit-langit tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ekspresi sakit hati diungkapkannya dengan bahasa tubuh. Ia berpindah dari satu sofa ke sofa lain dengan perasaan yang sangat menderita sekali. Gerak-geriknya dipengaruhi oleh kesedihan.
Seminggu kemudian, setelah menenangkan pikiran karena berita yang amat mengejutkan tersebut, Vikhlyenev datang menemuiku. Kami berdua saling menghindar dan jengah. Aku mencoba berceloteh tentang kebebasan cinta, egoisme hubungan perkawinan, dan takdir yang tak bisa dielakkan.
"Bukan itu yang ingin kubicarakan," katanya memotong, "Tentang hal itu aku sangat mengerti. Membicarakan perasaan siapa pun tak bisa disalahkan. Yang aku khawatirkan adalah hal lain. Hal yang sebenarnya tak berarti. Kau tahu sendiri, aku sama sekali tak mengerti tentang hidup, di mana kehidupan yang sebenarnya, dan kebiasaan masyarakat yang harus diperhatikan, misalnya. Aku orang yang benar-benar belum berpengalaman. Jadi, tolonglah teman! Katakan padaku apa yang harus dilakukan Ninochka sekarang? Tinggal bersamaku atau dia harus pindah bersamamu?"
Dengan kepala dingin kami membicarakan hal tersebut dan akhirnya kami menemukan jalan tengah. Ninochka tetap tinggal bersama suaminya, dan aku bisa menemuinya kapan pun. Karenanya, ia memakai kamar yang ada di pojok yang dulunya adalah gudang. Kamar itu agak gelap dan lembab, pintu kamarnya berhubungan langsung dengan dapur. Namun, pada akhirnya Vikhlyenev menembak dirinya sendiri tanpa menyusahkan orang lain. ***
1885
(Diterjemahkan oleh Nunung Deni Puspitasari dari Anton Chekhov Selected Stories, The New American Library of World Literature, Second Printing, August 1963)
Mimpi Terindah Sebelum Mati
Cerpen Maya Wulan
RAMADHANI, sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku, sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.
Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua tertiupkan ke alam ini.
NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring. Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan kini, aku bermimpi.
Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering. Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?
Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan kembali di sini."
Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"
Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.
Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku, Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.
Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.
Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.
Sambil mengajakku untuk duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan menyebut-nyebut surga. Aku teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki di sebelahku, "Apa ayahku ada di sana?"
"Benar," jawabnya.
"Di mana?"
"Di langit ke tujuh."
"Apa kita bisa ke sana?" tanyaku tak sabar.
"Kelak kita akan ke sana. Tapi, ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" sahutku semangat.
"Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak, kau tidak akan bisa sampai ke tempat ayahmu. Karena kau akan tersesat."
"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung. Aku benci angka-angka!" aku berteriak.
"Di langit, kau juga bisa menghitung bintang-bintang."
"Aku tidak mau menghitung langit atau apa pun."
"Percayalah, kau akan menyukainya."
"Untuk apa aku menghitung bintang-bintang?"
"Mungkin di sana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang."
"Benarkah?"
Laki-laki itu mengangguk. Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening mengurung kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak ada suara apa pun di tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang sudah cukup lama ini terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang menjelma nada indah tersendiri bagiku.
"Apa kita bisa menghitung suara ini?" kataku menunjuk bunyi jantungku.
"Ya, tentu. Hitunglah. Akan sangat menyenangkan kalau kita menghitung sesuatu yang kita sukai."
"Apa suara ini akan selalu berbunyi selamanya?"
"Tidak. Dia akan berhenti, kalau kau sudah mati."
"Mati? Pergi ke surga, seperti ayahku? Begitukah?"
"Ya."
"Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu ayahku?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi," kataku pelan.
"Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya," jawab laki-laki itu.
"Jangan beritahu ibuku kalau aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti yang dilakukan ibu padaku dulu, ketika ayah meninggalkan kami."
"Bagaimana dengan temanmu, Ramadhani?"
Aku terhenyak. Ramadhani? Ah, aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya begitu saja? Tapi…bukankah aku sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di satuan waktu yang lain? Tentu dia akan mengerti.
Aku baru saja akan mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramadhani akan baik-baik saja jika harus kutinggalkan, tetapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku tidak lagi berada dalam pelukannya. Suasana yang putih berkabut kini berganti dengan taman yang sangat indah dan penuh bunga. Aroma wangi dari kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun kutemui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali ini dia menatap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan berjalan menujunya. Tetapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus sampai semuanya semakin tak terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan rasa kecewa.
Aku teringat pada teman kecilku. Ramadhani, kalau setelah ini aku harus pergi, maka semua yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum matiku. Kataku dalam hati.
AKU lihat kau duduk di samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca. Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi kau tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau takkan percaya, Ramadhani, aku bertemu ayahku dalam mimpiku.
Aku teringat dunia yang lain. Waktu kau, Ramadhani, menciumi bibirku ketika aku bicara tentang mati. Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramadhani, lihat! Ayahku datang lagi. Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku menenggelamkan diri di gambaran mimpiku.
Di belakangku, ayahku merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu yang tak tertawar lagi. Dan…di arah yang berlawanan, "Hei, itu kau, Ramadhani. Kau juga di sini?" tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama kemudian kau memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku. Sebenarnya kau mau aku datang padamu atau tidak?
Aku tak bisa memilih. Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Napasku sudah total terengah-engah. Ini melelahkan, Ramadhani. Tetapi juga menyenangkan. Pengalaman unik yang tak bisa sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih menarik daripada menghitung langit atau bintang.
Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat membuatku tercekat.
Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan hanya terus menangis. ***
RAMADHANI, sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku, sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.
Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua tertiupkan ke alam ini.
NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring. Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan kini, aku bermimpi.
Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering. Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?
Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan kembali di sini."
Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"
Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.
Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku, Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.
Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.
Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.
Sambil mengajakku untuk duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan menyebut-nyebut surga. Aku teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki di sebelahku, "Apa ayahku ada di sana?"
"Benar," jawabnya.
"Di mana?"
"Di langit ke tujuh."
"Apa kita bisa ke sana?" tanyaku tak sabar.
"Kelak kita akan ke sana. Tapi, ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" sahutku semangat.
"Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak, kau tidak akan bisa sampai ke tempat ayahmu. Karena kau akan tersesat."
"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung. Aku benci angka-angka!" aku berteriak.
"Di langit, kau juga bisa menghitung bintang-bintang."
"Aku tidak mau menghitung langit atau apa pun."
"Percayalah, kau akan menyukainya."
"Untuk apa aku menghitung bintang-bintang?"
"Mungkin di sana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang."
"Benarkah?"
Laki-laki itu mengangguk. Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening mengurung kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak ada suara apa pun di tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang sudah cukup lama ini terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang menjelma nada indah tersendiri bagiku.
"Apa kita bisa menghitung suara ini?" kataku menunjuk bunyi jantungku.
"Ya, tentu. Hitunglah. Akan sangat menyenangkan kalau kita menghitung sesuatu yang kita sukai."
"Apa suara ini akan selalu berbunyi selamanya?"
"Tidak. Dia akan berhenti, kalau kau sudah mati."
"Mati? Pergi ke surga, seperti ayahku? Begitukah?"
"Ya."
"Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu ayahku?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi," kataku pelan.
"Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya," jawab laki-laki itu.
"Jangan beritahu ibuku kalau aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti yang dilakukan ibu padaku dulu, ketika ayah meninggalkan kami."
"Bagaimana dengan temanmu, Ramadhani?"
Aku terhenyak. Ramadhani? Ah, aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya begitu saja? Tapi…bukankah aku sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di satuan waktu yang lain? Tentu dia akan mengerti.
Aku baru saja akan mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramadhani akan baik-baik saja jika harus kutinggalkan, tetapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku tidak lagi berada dalam pelukannya. Suasana yang putih berkabut kini berganti dengan taman yang sangat indah dan penuh bunga. Aroma wangi dari kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun kutemui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali ini dia menatap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan berjalan menujunya. Tetapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus sampai semuanya semakin tak terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan rasa kecewa.
Aku teringat pada teman kecilku. Ramadhani, kalau setelah ini aku harus pergi, maka semua yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum matiku. Kataku dalam hati.
AKU lihat kau duduk di samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca. Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi kau tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau takkan percaya, Ramadhani, aku bertemu ayahku dalam mimpiku.
Aku teringat dunia yang lain. Waktu kau, Ramadhani, menciumi bibirku ketika aku bicara tentang mati. Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramadhani, lihat! Ayahku datang lagi. Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku menenggelamkan diri di gambaran mimpiku.
Di belakangku, ayahku merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu yang tak tertawar lagi. Dan…di arah yang berlawanan, "Hei, itu kau, Ramadhani. Kau juga di sini?" tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama kemudian kau memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku. Sebenarnya kau mau aku datang padamu atau tidak?
Aku tak bisa memilih. Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Napasku sudah total terengah-engah. Ini melelahkan, Ramadhani. Tetapi juga menyenangkan. Pengalaman unik yang tak bisa sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih menarik daripada menghitung langit atau bintang.
Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat membuatku tercekat.
Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan hanya terus menangis. ***
Sebuah Jalan
Cerita Aris Kurniawan
Jalanan sepi dan basah, kawan. Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu, sehingga paras pucat perempuan itu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran cahaya lampu terhalang ranting akasia. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu saja sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan? Maafkan kalau aku kelihatan sok tahu, kawan. Kau tentu boleh tak setuju dengan bermacam ungkapan atau perumpamaan yang kubuat dalam menceritakan semua ini.
Ia meletakkan bokongnya di bangku halte dengan cemas yang deras menggerayangi perasaannya. Jemari tangannya yang lentik terawat meremas-remas sapu tangan basah yang digunakan untuk menyeka wajah dan rambutnya. Sebuah tas kecil terbuat dari kulit berwarna coklat talinya masih nyangkol di bahu, dikempit ketiaknya. Kopor hitam didekap kedua lututnya yang gemetar. Cahaya temaram menyembunyikan tubuhnya yang menggigil dibungkus jaket dan kaus hitam ketat. Kecemasan makin deras, sukar dibendung. Ia sering mengalami kecemasan. Tapi kali ini baru dialami sepanjang hidupnya.
Ia urung membakar sisa rokok yang tinggal sebatang-batangnya. Dimasukkannya kembali rokok itu ke dalam saku jaket. Taksi yang diharapkan lewat dan membawanya pergi dari tempat itu tak juga muncul. Udara dingin terasa semakin menghisap tenaga dan denyut nadinya serupa terik matahari menghisap embun di pagi hari. Ia meraba dadanya, seakan mengukur kemampuannya bertahan.
Di langit bulan direnggut lapisan awan tebal. Sisa hujan menggenang di jalan berlubang, sesekali berkilau tersiram cahaya lampu. Tak ada suara angin atau gonggongan anjing. Hanya sesekali, lamat, suara kersik daun kering yang putus dari tangkainya melayang tenang sebelum hinggap di badan jalan yang betul-betul lengang seperti kuburan.
Ia mengutuk peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Bukan hanya rentetan peristiwa yang beberapa jam lalu dilewatinya. Melainkan terutama peristiwa yang dialami masa kanak dan remajanya yang singkat dan muram. Ia meremas sapu tangan seakan meremas kecemasan yang terus menjalar dan menggerogoti lapis demi lapis ketegaran yang sekian lama dipupuknya. Dengan ragu-ragu dirogohnya saku jaket, mencari-cari rokok yang tadi tak jadi disulut. Ujung jemarinya menyentuh tembakau yang terburai dari kertasnya yang koyak karena gesekan dan saku jaket yang lembab.
Dibakarnya batang rokok yang koyak separuh, lantas disedotnya setengah hati. Ia membuang ludah yang terasa pahit di lidahnya. Tenggorokannya bagai terbakar, panas dan perih. Di telinganya suara nyamuk berdenging, menggigit kulitnya yang halus dan masih menyisakan harum. Tak ada kunang-kunang, membuat malam sungguh-sungguh kelam.
Pandangannya terus menyorot ke kanan sampai lehernya pegal; arah dari mana dirinya muncul tersaruk menyeret kopor. Ketegangan menyerang tubuhnya. Ia merasakan urat-urat lehernya menegang dan kaku. Taksi yang ditunggunya tak pernah muncul. Jalan itu memang tak dilintasi taksi apalagi di malam sepi dan dingin sehabis hujan seperti itu. Ia lupa, bahkan ojek pun tak berani melintas di sana. Baru kali ini ia linglung dan kehilangan akal apa yang harus diperbuatnya.
Ia mengetatkan dan menaikkan kerah jaketnya mencoba menghalau dingin. Tapi dingin tak bisa dihalau, ia telah bersekutu dengan malam dan sepi, mengundang kenangan yang berdiam dalam ingatannya. Ia serasa mendengar umpatan papa. Mendengar jeritan mama dan Ning, kakak sulungnya. Mereka berkelebatan mengurung matanya ke mana pun dibenturkan. Ia tidak pernah menemukan tempat yang benar-benar mampu menjauhkan ingatannya dari mereka dan seluruh peristiwa yang membuatnya membenci mereka. Mama dan papa seingatnya tak pernah bertemu kecuali untuk saling menumpahkan caci maki. Tak pernah dilihatnya mereka duduk bersama, bercengkerama, apalagi secara mesra mengulurkan tangan untuk dicium saat dirinya berangkat sekolah.
Ia dapat mendengar dengan jelas suara tangan papa menggampar pipi mama disertai bentakan, lantas lengkingan mama yang membuatnya terhenyak malam-malam. Disusul denting gelas dan cangkir beterbangan menghantam dinding. Kakak Ning tak pernah pulang kecuali dalam keadaan mabuk dan dipeluk seorang perempuan seusia mama. Mereka berdekapan sepanjang malam dengan pakaian separuh tanggal sambil mendesiskan suara-suara yang membuatnya mau muntah. Ia sendiri menggigil di balik pintu kamarnya. Adiknya, Riko, yang menderita autis pulas dalam pelukan tante Noah di kamar.
Ia tahu, Rikolah yang menjadi pangkal pertengkaran mereka. Papa menuduh Riko anak hasil perselingkuhan mama dengan pemuda-pemuda yang suka nongkrong di mall; bukan anak dari benihnya. Sebaliknya, mama yakin papa yang sering keluyuran malam dan bergonta-ganti pasangan yang menyebabkan Riko terlahir cacat.
Batang rokok terakhir sudah habis. Puntungnya yang masih mengepulkan asap tanpa sadar diremasnya. Sesaat ia menjerit dan terperanjat karena panas. Perlahan udara bergerak dari arah selatan tanpa suara. Wajahnya menegang lagi seperti ada anak-anak yang menariknya. Suasana makin hening. Gemeretak giginya terdengar nyaring. Ia melepas tas dari pundaknya kemudian dipeluknya. Meletakkan pipi di atasnya.
Seperti yang dilakukannya saat hatinya tiba-tiba perih direnggut rindu pada mama.
"Kamu kenapa, Revi?" tanya teman laki-lakinya melihat ia murung.
"Tidak apa-apa, Roni," jawabnya seraya menatap mata laki-laki itu.
"Kamu masih tak mempercayai aku? Hmm."
"Tidak. Kamu jangan sentimentil, Roni."
Mereka sudah cukup lama berhubungan. Ia tidak pernah mencintai seseorang seperti ia mencintai laki-laki itu. Laki-laki yang mula-mula menyerahkan penanganan urusan rambutnya. Laki-laki itu ketagihan pijatannya yang enak. Pelayanannya yang serba lembut dan menyentuh membuatnya berlangganan setiap pekan. Tentu tidak terbatas pada urusan rambut, melainkan juga perawatan kulit dan wajah. Pria metroseksual, kata orang-orang. Ia suka menatap lekat-lekat rahangnya yang kukuh, dagunya yang selalu kebiruan. Ia terpesona pada gaya bicara dan terutama suaranya yang basah dan terdengar mendesah. Maka usai dengan urusan rambut, biasanya laki-laki itu berlama-lama duduk di sana sampai malam larut oleh embun, mengobrolkan entah apa dengannya.
"Kenapa kamu memilih hidup seperti ini?" demikian laki-laki itu pernah bertanya.
"Kenapa?" perempuan itu balik bertanya.
"Pengin dengar ceritanya."
"Buat apa?"
"Namamu bagus."
"Ah."
"Bukan nama pemberian orang tuamu, kukira."
Obrolan-obrolan serupa berlanjut terus setiap laki-laki itu datang. Berceritalah dia tentang kebenciannya pada mama, papa, dan Kak Ning, juga rasa iba terkira pada kondisi Riko. Tetapi terutama pada peristiwa demi peristiwa yang membuatnya membenci mereka semua.
"Itu yang membuat kamu memilih begini?"
Perempuan itu tak menjawab. Ia teringat pada keputusan besarnya: mengkastrasi kelaminnya, mengubahnya menjadi vagina. Ia yakin benar kekeliruan itu harus diluruskan, bukan karena kebenciannya pada papa, mama dan Kak Ning yang entah sudah mati atau masih gentayangan entah di mana.
"Apakah salah."
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia sendiri tak merasa memerlukan jawaban sebagimana ia juga tidak perlu tahu sungguhkah Roni mencintainya? Disimpan saja keraguannya itu. Ia berharap Roni sungguh-sungguh.
"Aku laki-laki, bukankah kamu perempuan?" ujar laki-laki itu seakan mengerti perasaannya.
"Hmm, aku gembira. Tapi tidakkah ini …"
Ia menepuk-nepuk telapak tangannya, membersihkan debu puntung rokok. Menelan ludahnya yang panas bagai lahar membakar lidah dan tenggorokan. Langit makin pekat. Selembar daun akasia jatuh tepat di pangkuannya. Seekor kucing tiba-tiba mendekat dan menyentuh-nyentuhkan tubuh ke kakinya. Di langit lapisan awan tebal tak menyisakan kerlip gemintang. Kenangan pelariannya dari rumah dengan mencuri semua perhiasan mama mendadak membayang lebih jelas. Seperti baru kemarin dia meninggalkan rumah yang dikutuknya bagai kamp penyiksaan bagi jiwanya.
Dengan percaya diri ia menjual semua perhiasan mama untuk menyewa ruko dan memulai usaha membuka salon. Ia adalah seorang yang ulet, terbukti salon yang dikelolanya tak pernah sepi pelanggan. Ia tidak perlu menjadi pengamen atau berdiri malam-malam di perempatan jalan menunggu mangsa; seperti kebanyakan kawan-kawannya.
Rupanya mama masih hidup, ia mendengar kabar mama masuk rumah sakit. Perempuan itu tak mengenalinya ketika ia menjenguknya di rumah sakit. Wajah mama nampak begitu pucat dan renta.
"Siapa kamu?" tanya tante Noah yang menjaga mama. Ia tak merasa perlu menjelaskan dirinya. Ia hanya berkata supaya mama dijaga, lantas pergi meninggalkan sekeranjang bunga dan buah-buahan. Sayup-sayup ia mendengar teriakan tante Noah memanggilnya, "Rava, Rava…" Sesunggguhnya ia ingin menghentikan langkah dan berbalik menemui mereka. Tapi keberaniannya tiba-tiba menguap entah ke mana.
Ia menelan ludah. Lamat didengarnya suara roda gerobak bakso yang didorong tergesa. Ia menggeser duduknya, mengangkat wajah melihat tukang bakso makin mendekat, dan melintas tanpa menoleh ke arahnya.
Bertahun-tahun ia tak pernah pulang. Berusaha melupakan mama, papa, Kak Ning , Riko dan semua impitan peristiwa masa kanaknya. Namun sering gagal. Semuanya selalu menguntit ingatannya. Setahun setelah peristiwa di rumah sakit, ia mendengar kabar mama meninggal. Kak Ning mengalami stres berkepanjangan, dan Riko dibuang tante Noah ke rumah panti anak-anak cacat. Papa entah ke mana.
Ia memejamkan matanya, berusaha membebaskan diri impitan ingatannya. Tetapi peristiwa lain yang menyeretnya ke tempat ini menyerbu kepalanya. Ia mendengar kabar perselingkuhan Roni dengan penari bar. Santi, karyawan setianya yang mengatakan kabar itu. Ia mendatangi hotel tempat mereka kencan. Setelah berdebat cukup alot, dengan berbelit resepsionis hotel itu memberi tahu nomor kamar mereka. Perasaannya berdebar kencang saat memijit tombol lift.
Di kamar yang dituju ia hanya mendapati seorang perempuan. Beberapa lama terjadi perang mulut. Ia sempat menampar perempuan itu. Ia ingin menuntaskan kegeramannya dengan melempar perempuan itu melalui jendela. Tapi itu tak dilakukannya, ia masih bisa menahan diri. Sebelum membanting pintu, ia mengakhiri pertengkaran dengan meletakkan mata belati yang berkilat di dada perempuan itu sambil membisikkan ancaman, "Lupakan Roni, atau ujung belati ini merobek jantungmu."
Ia melangkah pelan menyusuri karpet lorong hotel, berusaha tidak menimbulkan suara. Tiba di salonnya, ia melihat Roni sudah berdiri di sana sambil berkacak pinggang.
"Mulai malam ini, jangan campuri urusanku, waria haram jadah!"
Peristiwa berikutnya berlangsung begitu cepat. Ia menyeret laki-laki itu ke kamar, lalu dibantingnya di sana. Laki-laki itu dengan cepat bangkit menjambak rambutnya, mencekiknya, menampar kedua pipinya sangat keras, sampai bibirnya pecah. Ia limbung beberapa saat, kemudian meraih gunting di meja hias dan menusukkannya berkali-kali ke dada laki-laki itu. Setelah menyeka muncratan darah di mukanya, ia meraih pedang panjang yang selama ini menjadi hiasan di dinding. Dengan kalap memotong-motong mayat lelaki itu menjadi beberapa bagian.
Malam sudah melewati separuh perjalanannya. Perempuan itu masih di duduk di bangku halte. Mengutuk perasaannya sendiri yang begitu sentimentil. Kini ia teringat Santi. Ia memintanya tidak mengikuti dirinya. "Pergilah, Santi, jangan ikuti aku. Bawalah uang ini untuk bekal. Pergilah sejauh-jauhnya dari kota ini. Semoga semuanya akan baik-baik saja. Biar aku pergi menyusuri jalan ini sendiri. Sebab aku belum tahu tempat mana yang akan kutuju."
Hatinya bagai teriris melihat punggung karyawan setianya itu pergi membawa tangisnya yang mencekam.
Hujan turun lagi. Tiba-tiba ia merasa dirinya begitu tua, lelah dan teraniaya. Kepalanya tak kuat lagi disesaki peristiwa demi peristiwa penuh kepalsuan. Tak sanggup lagi membayangkan keluarga bahagia. Menata rambut para pelanggannya yang setia. Hidupnya terlalu sesak dengan keperihan, tak ada tempat bahkan untuk kisah cinta yang paling iseng dan sederhana. Maka tak ada lagi alasan untuk pergi dari situ. Begitu ia akhirnya memutuskan. Biarlah besok sekawanan polisi menggiringnya ke penjara.***
Jalanan sepi dan basah, kawan. Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu, sehingga paras pucat perempuan itu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran cahaya lampu terhalang ranting akasia. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu saja sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan? Maafkan kalau aku kelihatan sok tahu, kawan. Kau tentu boleh tak setuju dengan bermacam ungkapan atau perumpamaan yang kubuat dalam menceritakan semua ini.
Ia meletakkan bokongnya di bangku halte dengan cemas yang deras menggerayangi perasaannya. Jemari tangannya yang lentik terawat meremas-remas sapu tangan basah yang digunakan untuk menyeka wajah dan rambutnya. Sebuah tas kecil terbuat dari kulit berwarna coklat talinya masih nyangkol di bahu, dikempit ketiaknya. Kopor hitam didekap kedua lututnya yang gemetar. Cahaya temaram menyembunyikan tubuhnya yang menggigil dibungkus jaket dan kaus hitam ketat. Kecemasan makin deras, sukar dibendung. Ia sering mengalami kecemasan. Tapi kali ini baru dialami sepanjang hidupnya.
Ia urung membakar sisa rokok yang tinggal sebatang-batangnya. Dimasukkannya kembali rokok itu ke dalam saku jaket. Taksi yang diharapkan lewat dan membawanya pergi dari tempat itu tak juga muncul. Udara dingin terasa semakin menghisap tenaga dan denyut nadinya serupa terik matahari menghisap embun di pagi hari. Ia meraba dadanya, seakan mengukur kemampuannya bertahan.
Di langit bulan direnggut lapisan awan tebal. Sisa hujan menggenang di jalan berlubang, sesekali berkilau tersiram cahaya lampu. Tak ada suara angin atau gonggongan anjing. Hanya sesekali, lamat, suara kersik daun kering yang putus dari tangkainya melayang tenang sebelum hinggap di badan jalan yang betul-betul lengang seperti kuburan.
Ia mengutuk peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Bukan hanya rentetan peristiwa yang beberapa jam lalu dilewatinya. Melainkan terutama peristiwa yang dialami masa kanak dan remajanya yang singkat dan muram. Ia meremas sapu tangan seakan meremas kecemasan yang terus menjalar dan menggerogoti lapis demi lapis ketegaran yang sekian lama dipupuknya. Dengan ragu-ragu dirogohnya saku jaket, mencari-cari rokok yang tadi tak jadi disulut. Ujung jemarinya menyentuh tembakau yang terburai dari kertasnya yang koyak karena gesekan dan saku jaket yang lembab.
Dibakarnya batang rokok yang koyak separuh, lantas disedotnya setengah hati. Ia membuang ludah yang terasa pahit di lidahnya. Tenggorokannya bagai terbakar, panas dan perih. Di telinganya suara nyamuk berdenging, menggigit kulitnya yang halus dan masih menyisakan harum. Tak ada kunang-kunang, membuat malam sungguh-sungguh kelam.
Pandangannya terus menyorot ke kanan sampai lehernya pegal; arah dari mana dirinya muncul tersaruk menyeret kopor. Ketegangan menyerang tubuhnya. Ia merasakan urat-urat lehernya menegang dan kaku. Taksi yang ditunggunya tak pernah muncul. Jalan itu memang tak dilintasi taksi apalagi di malam sepi dan dingin sehabis hujan seperti itu. Ia lupa, bahkan ojek pun tak berani melintas di sana. Baru kali ini ia linglung dan kehilangan akal apa yang harus diperbuatnya.
Ia mengetatkan dan menaikkan kerah jaketnya mencoba menghalau dingin. Tapi dingin tak bisa dihalau, ia telah bersekutu dengan malam dan sepi, mengundang kenangan yang berdiam dalam ingatannya. Ia serasa mendengar umpatan papa. Mendengar jeritan mama dan Ning, kakak sulungnya. Mereka berkelebatan mengurung matanya ke mana pun dibenturkan. Ia tidak pernah menemukan tempat yang benar-benar mampu menjauhkan ingatannya dari mereka dan seluruh peristiwa yang membuatnya membenci mereka. Mama dan papa seingatnya tak pernah bertemu kecuali untuk saling menumpahkan caci maki. Tak pernah dilihatnya mereka duduk bersama, bercengkerama, apalagi secara mesra mengulurkan tangan untuk dicium saat dirinya berangkat sekolah.
Ia dapat mendengar dengan jelas suara tangan papa menggampar pipi mama disertai bentakan, lantas lengkingan mama yang membuatnya terhenyak malam-malam. Disusul denting gelas dan cangkir beterbangan menghantam dinding. Kakak Ning tak pernah pulang kecuali dalam keadaan mabuk dan dipeluk seorang perempuan seusia mama. Mereka berdekapan sepanjang malam dengan pakaian separuh tanggal sambil mendesiskan suara-suara yang membuatnya mau muntah. Ia sendiri menggigil di balik pintu kamarnya. Adiknya, Riko, yang menderita autis pulas dalam pelukan tante Noah di kamar.
Ia tahu, Rikolah yang menjadi pangkal pertengkaran mereka. Papa menuduh Riko anak hasil perselingkuhan mama dengan pemuda-pemuda yang suka nongkrong di mall; bukan anak dari benihnya. Sebaliknya, mama yakin papa yang sering keluyuran malam dan bergonta-ganti pasangan yang menyebabkan Riko terlahir cacat.
Batang rokok terakhir sudah habis. Puntungnya yang masih mengepulkan asap tanpa sadar diremasnya. Sesaat ia menjerit dan terperanjat karena panas. Perlahan udara bergerak dari arah selatan tanpa suara. Wajahnya menegang lagi seperti ada anak-anak yang menariknya. Suasana makin hening. Gemeretak giginya terdengar nyaring. Ia melepas tas dari pundaknya kemudian dipeluknya. Meletakkan pipi di atasnya.
Seperti yang dilakukannya saat hatinya tiba-tiba perih direnggut rindu pada mama.
"Kamu kenapa, Revi?" tanya teman laki-lakinya melihat ia murung.
"Tidak apa-apa, Roni," jawabnya seraya menatap mata laki-laki itu.
"Kamu masih tak mempercayai aku? Hmm."
"Tidak. Kamu jangan sentimentil, Roni."
Mereka sudah cukup lama berhubungan. Ia tidak pernah mencintai seseorang seperti ia mencintai laki-laki itu. Laki-laki yang mula-mula menyerahkan penanganan urusan rambutnya. Laki-laki itu ketagihan pijatannya yang enak. Pelayanannya yang serba lembut dan menyentuh membuatnya berlangganan setiap pekan. Tentu tidak terbatas pada urusan rambut, melainkan juga perawatan kulit dan wajah. Pria metroseksual, kata orang-orang. Ia suka menatap lekat-lekat rahangnya yang kukuh, dagunya yang selalu kebiruan. Ia terpesona pada gaya bicara dan terutama suaranya yang basah dan terdengar mendesah. Maka usai dengan urusan rambut, biasanya laki-laki itu berlama-lama duduk di sana sampai malam larut oleh embun, mengobrolkan entah apa dengannya.
"Kenapa kamu memilih hidup seperti ini?" demikian laki-laki itu pernah bertanya.
"Kenapa?" perempuan itu balik bertanya.
"Pengin dengar ceritanya."
"Buat apa?"
"Namamu bagus."
"Ah."
"Bukan nama pemberian orang tuamu, kukira."
Obrolan-obrolan serupa berlanjut terus setiap laki-laki itu datang. Berceritalah dia tentang kebenciannya pada mama, papa, dan Kak Ning, juga rasa iba terkira pada kondisi Riko. Tetapi terutama pada peristiwa demi peristiwa yang membuatnya membenci mereka semua.
"Itu yang membuat kamu memilih begini?"
Perempuan itu tak menjawab. Ia teringat pada keputusan besarnya: mengkastrasi kelaminnya, mengubahnya menjadi vagina. Ia yakin benar kekeliruan itu harus diluruskan, bukan karena kebenciannya pada papa, mama dan Kak Ning yang entah sudah mati atau masih gentayangan entah di mana.
"Apakah salah."
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia sendiri tak merasa memerlukan jawaban sebagimana ia juga tidak perlu tahu sungguhkah Roni mencintainya? Disimpan saja keraguannya itu. Ia berharap Roni sungguh-sungguh.
"Aku laki-laki, bukankah kamu perempuan?" ujar laki-laki itu seakan mengerti perasaannya.
"Hmm, aku gembira. Tapi tidakkah ini …"
Ia menepuk-nepuk telapak tangannya, membersihkan debu puntung rokok. Menelan ludahnya yang panas bagai lahar membakar lidah dan tenggorokan. Langit makin pekat. Selembar daun akasia jatuh tepat di pangkuannya. Seekor kucing tiba-tiba mendekat dan menyentuh-nyentuhkan tubuh ke kakinya. Di langit lapisan awan tebal tak menyisakan kerlip gemintang. Kenangan pelariannya dari rumah dengan mencuri semua perhiasan mama mendadak membayang lebih jelas. Seperti baru kemarin dia meninggalkan rumah yang dikutuknya bagai kamp penyiksaan bagi jiwanya.
Dengan percaya diri ia menjual semua perhiasan mama untuk menyewa ruko dan memulai usaha membuka salon. Ia adalah seorang yang ulet, terbukti salon yang dikelolanya tak pernah sepi pelanggan. Ia tidak perlu menjadi pengamen atau berdiri malam-malam di perempatan jalan menunggu mangsa; seperti kebanyakan kawan-kawannya.
Rupanya mama masih hidup, ia mendengar kabar mama masuk rumah sakit. Perempuan itu tak mengenalinya ketika ia menjenguknya di rumah sakit. Wajah mama nampak begitu pucat dan renta.
"Siapa kamu?" tanya tante Noah yang menjaga mama. Ia tak merasa perlu menjelaskan dirinya. Ia hanya berkata supaya mama dijaga, lantas pergi meninggalkan sekeranjang bunga dan buah-buahan. Sayup-sayup ia mendengar teriakan tante Noah memanggilnya, "Rava, Rava…" Sesunggguhnya ia ingin menghentikan langkah dan berbalik menemui mereka. Tapi keberaniannya tiba-tiba menguap entah ke mana.
Ia menelan ludah. Lamat didengarnya suara roda gerobak bakso yang didorong tergesa. Ia menggeser duduknya, mengangkat wajah melihat tukang bakso makin mendekat, dan melintas tanpa menoleh ke arahnya.
Bertahun-tahun ia tak pernah pulang. Berusaha melupakan mama, papa, Kak Ning , Riko dan semua impitan peristiwa masa kanaknya. Namun sering gagal. Semuanya selalu menguntit ingatannya. Setahun setelah peristiwa di rumah sakit, ia mendengar kabar mama meninggal. Kak Ning mengalami stres berkepanjangan, dan Riko dibuang tante Noah ke rumah panti anak-anak cacat. Papa entah ke mana.
Ia memejamkan matanya, berusaha membebaskan diri impitan ingatannya. Tetapi peristiwa lain yang menyeretnya ke tempat ini menyerbu kepalanya. Ia mendengar kabar perselingkuhan Roni dengan penari bar. Santi, karyawan setianya yang mengatakan kabar itu. Ia mendatangi hotel tempat mereka kencan. Setelah berdebat cukup alot, dengan berbelit resepsionis hotel itu memberi tahu nomor kamar mereka. Perasaannya berdebar kencang saat memijit tombol lift.
Di kamar yang dituju ia hanya mendapati seorang perempuan. Beberapa lama terjadi perang mulut. Ia sempat menampar perempuan itu. Ia ingin menuntaskan kegeramannya dengan melempar perempuan itu melalui jendela. Tapi itu tak dilakukannya, ia masih bisa menahan diri. Sebelum membanting pintu, ia mengakhiri pertengkaran dengan meletakkan mata belati yang berkilat di dada perempuan itu sambil membisikkan ancaman, "Lupakan Roni, atau ujung belati ini merobek jantungmu."
Ia melangkah pelan menyusuri karpet lorong hotel, berusaha tidak menimbulkan suara. Tiba di salonnya, ia melihat Roni sudah berdiri di sana sambil berkacak pinggang.
"Mulai malam ini, jangan campuri urusanku, waria haram jadah!"
Peristiwa berikutnya berlangsung begitu cepat. Ia menyeret laki-laki itu ke kamar, lalu dibantingnya di sana. Laki-laki itu dengan cepat bangkit menjambak rambutnya, mencekiknya, menampar kedua pipinya sangat keras, sampai bibirnya pecah. Ia limbung beberapa saat, kemudian meraih gunting di meja hias dan menusukkannya berkali-kali ke dada laki-laki itu. Setelah menyeka muncratan darah di mukanya, ia meraih pedang panjang yang selama ini menjadi hiasan di dinding. Dengan kalap memotong-motong mayat lelaki itu menjadi beberapa bagian.
Malam sudah melewati separuh perjalanannya. Perempuan itu masih di duduk di bangku halte. Mengutuk perasaannya sendiri yang begitu sentimentil. Kini ia teringat Santi. Ia memintanya tidak mengikuti dirinya. "Pergilah, Santi, jangan ikuti aku. Bawalah uang ini untuk bekal. Pergilah sejauh-jauhnya dari kota ini. Semoga semuanya akan baik-baik saja. Biar aku pergi menyusuri jalan ini sendiri. Sebab aku belum tahu tempat mana yang akan kutuju."
Hatinya bagai teriris melihat punggung karyawan setianya itu pergi membawa tangisnya yang mencekam.
Hujan turun lagi. Tiba-tiba ia merasa dirinya begitu tua, lelah dan teraniaya. Kepalanya tak kuat lagi disesaki peristiwa demi peristiwa penuh kepalsuan. Tak sanggup lagi membayangkan keluarga bahagia. Menata rambut para pelanggannya yang setia. Hidupnya terlalu sesak dengan keperihan, tak ada tempat bahkan untuk kisah cinta yang paling iseng dan sederhana. Maka tak ada lagi alasan untuk pergi dari situ. Begitu ia akhirnya memutuskan. Biarlah besok sekawanan polisi menggiringnya ke penjara.***
Langit Menggelap di Vredeburg
Beginilah menjelang senja di jantung kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas motor model terbaru mereka sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja atau mereka yang beranjak dewasa duduk berdua-dua, di bangku semen, di atas sadel motor, atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang tuanya. Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan orang gila yang tidur di sisi pagar.
Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang bermesraan, Reyna duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan kota.
Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan. "Apa kabar?" katanya memperlihatkan giginya yang kekuningan. Asap rokok telah menindas warna putihnya.
"Kamu di sini?" Reyna tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, yang kesemuanya membuat Reyna ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk lelaki itu.
Begitu juga Mozes, lelaki tua yang berdiri di depan Reyna. Dadanya bergemuruh hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia memeluk, menciumi perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya.
Hingga Reyna kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya memberi tempat Mozes di sebelahnya.
"Kaget?" tanya Mozes, duduk di sebelah Reyna.
Reyna tertawa kecil.
"Gimana?" tanya Reyna tak jelas arahnya. "Lama sekali nggak ketemu."
"Iya. Berapa tahun ya? Dua lima, tiga puluh?"
"Tiga puluh tahun!" jawab Reyna pasti.
"Ouw! Tiga puluh tahun. Dan kamu masih semanis dulu."
"Terima kasih," Reyna tersenyum geli. Masih ’semanis dulu’. Bukankah itu lucu? Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu pasti tinggal sisanya saja. Kecantikan yang telah terbalut keriput di seluruh tubuhnya. Tapi kalimat itu tak urung membuat Reyna tersipu. Merasa bangga, tersanjung karenanya.
"Kapan datang?" tanya Reyna. Mulai berani lagi menatap mata lelaki di sebelahnya.
"Belum seminggu," jawab Mozes.
"Mencariku?" Reyna tersenyum. Sisa genitnya di masa muda.
Mozes tertawa berderai-derai. Lalu katanya pelan, "Aku turut berduka atas meninggalnya suamimu," tawanya menghilang.
Reyna tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga meluncur dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata Reyna tampak berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Mozes tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya.
Reyna dan Mozes. Mozes pekerja film yang bukan saja terampil, tetapi juga cerdas dan kritis. Reyna pengelola media sebuah perusahaan terkemuka. Mereka bertemu karena Reyna harus membuat sebuah film sebagai media pencitraan perusahaannya. Reyna yang istri dan ibu seorang anak, dan Mozes yang duda. Dua orang muda yang masih segar, bersemangat, dan menawan. Dua orang yang kemudian saling jatuh cinta.
Reyna hampir saja meninggalkan Braham ketika itu. Ibu muda Reyna merasa menemukan sampan kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya yang kelam bersama Braham. Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan mengantarnya ke dermaga damai tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua Mozes.
Tetapi sampan kecil itu ternyata begitu ringkih. Ia tak mampu menyangga beban berdua. Ia hanya ingin sesekali singgah, bermesra dan bercinta tanpa harus mengangkutnya. Mozes tak menginginkan ikatan apa pun antara dirinya dan Reyna. Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun ia ingin dan kembali kapan ia rindu. Kebebasan yang tak bisa Reyna terima. Maka sebelum perjalanan dimulai, ia memutuskan undur diri. Perempuan itu menyadari, bukan laki-laki seperti Mozes yang ia ingini untuk membebaskan dari derita malam-malamnya. Mozes berbeda dengan dirinya yang membutuhkan teman seperjalanan, ia hanya mencari ruang untuk membuang kepedihan dan mencari hiburan. Tak lebih.
"Berapa lama kamu akan tinggal?" tanya Reyna setelah gejolak perasaannya mereda.
"Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa umurku," jawab Mozes, tanpa senyum, tanpa memandang Reyna. "Banyak hal yang memberati pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama ini."
"Itu sebabnya kamu kemari?"
"Jakarta semakin sesak dan panas. Sementara Jogja masih tetap nyaman buat berkarya. Jadi kuputuskan kembali," lanjut Mozes tanpa mengacuhkan pertanyaan Reyna. "Begitu kembali seseorang bilang padaku, kamu sering di sini sore hari."
"Maka kamu mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan dulu."
Mozes menggeleng.
"Atau membangun hubungan baru."
Mozes menggeleng lagi, "Tidak juga. Aku tidak butuh hubungan seperti itu. Aku hanya butuh teman ngobrol…"
"Teman bermesra, teman bercinta yang bisa kamu datangi dan kamu tinggal pergi. Tanpa tuntutan, tanpa ikatan!" potong Reyna. "Itu hubungan yang sejak dulu kamu inginkan bersamaku kan? Seperti sudah kubilang dulu, aku tidak bisa. Aku sudah memilih."
Kebekuan kembali merejam perasaan kedua orang tua itu. Langit perlahan kehilangan warna jingga. Satu per satu lampu di sekeliling mulai menyala. Ada rangkaian lampu-lampu kecil berbentuk bunga di samping tikungan yang menyala bergantian, hijau, kuning, merah. Ada lampu besar dengan tiang sangat tinggi yang menyorot ke taman, ada pula lampu berwarna temaram yang semakin menggumpalkan kesenduan.
Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Terlalu banyak hal terjadi pada mereka dan sekian lama masing-masing memendam untuk diri sendiri. Mestinya pertemuan sore itu adalah untuk berbagi cerita bukan justru bertengkar kemudian saling diam. Atau mungkin karena perpisahan yang terlalu panjang, keduanya tak tahu apa yang harus diceritakan terlebih dahulu.
Mungkin memang begitu, karena senyatanya Reyna ingin berkata, beberapa tahun setelah perpisahan mereka ia masih juga mencari kabar tentang Mozes. Hingga suatu hari, satu setengah tahun setelah mereka tidak bersama seorang teman mengabarkan bahwa Mozes pulang ke Jakarta. Tak lama setelah itu, ia mendengar Mozes tengah melanglang buana. Buana yang mana, entah. Reyna merasa tidak perlu lagi mencari tahu keberadaan laki-laki itu. Meski tak jarang bayangan Mozes tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya begitu Braham mulai menjamah tubuhnya dan membuat Reyna kesakitan tak terkira.
Cerpen Sulialine Adelia
Terdengar Mozes menghela napas. Panjang. Perlahan gumpalan kemarahan yang menyesaki dada Reyna mereda. Namun hasrat untuk terus ngobrol telah tak ada. Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih mengental di antara keduanya. Hingga Reyna minta diri, dan beranjak pergi.
Hari-hari setelah kejadian itu, Reyna tak pernah tampak di depan Vredeburg lagi. Tetapi Mozes masih sering terlihat di salah satu bangku kayu di sana. Sendiri di tengah orang-orang muda yang tengah bercanda dan bercinta. Menghisap rokok kreteknya. Sesekali mengibaskan rambut putihnya yang panjang, tersapu angin menutup wajah tirusnya.
Begitu perasaan Reyna membaik dan siap bertemu Mozes lagi, ia kembali pada rutinitasnya, menunggu senja jatuh di Vredeburg. Namun ia harus menelan kecewa karena Mozes tak dijumpainya. Bahkan telepon genggamnya tak bisa dihubungi.
Suatu sore, di tengah keputusasaan Reyna, seorang teman mendatangi dan mengulurkan sebuah surat kepadanya. Surat dari Mozes!
"Hari-hari itu dia mencoba menghubungimu, tetapi HP-mu tak pernah aktif," kata laki-laki itu. "Ginjalnya tak berfungsi, serangan jantungnya kambuh, tekanan darahnya tidak stabil…"
Reyna tak bisa mendengar lagi penjelasan laki-laki itu. Bahkan ketika si teman menyerahkan satu dos buku dan tas berisi kamera warisan kekayaan Mozes untuknya, Reyna belum kembali pada kesadarannya.
Senja beranjak renta. Seperti Reyna merasai dirinya. Sepasang remaja di sebelahnya telah pergi. Begitu juga sekumpulan anak muda yang nongkrong di atas motor mereka, mulai menghidupkan mesin kendaraannya. Sisa adzan sayup terdengar dari Masjid Besar. Sebaris kalimat di surat terakhir Mozes meluncur dalam gumaman.
…maghrib begitu deras, ada yang terhempas, tapi ada goresan yang tak akan terkelupas.*
Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang bermesraan, Reyna duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan kota.
Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan. "Apa kabar?" katanya memperlihatkan giginya yang kekuningan. Asap rokok telah menindas warna putihnya.
"Kamu di sini?" Reyna tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, yang kesemuanya membuat Reyna ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk lelaki itu.
Begitu juga Mozes, lelaki tua yang berdiri di depan Reyna. Dadanya bergemuruh hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia memeluk, menciumi perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya.
Hingga Reyna kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya memberi tempat Mozes di sebelahnya.
"Kaget?" tanya Mozes, duduk di sebelah Reyna.
Reyna tertawa kecil.
"Gimana?" tanya Reyna tak jelas arahnya. "Lama sekali nggak ketemu."
"Iya. Berapa tahun ya? Dua lima, tiga puluh?"
"Tiga puluh tahun!" jawab Reyna pasti.
"Ouw! Tiga puluh tahun. Dan kamu masih semanis dulu."
"Terima kasih," Reyna tersenyum geli. Masih ’semanis dulu’. Bukankah itu lucu? Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu pasti tinggal sisanya saja. Kecantikan yang telah terbalut keriput di seluruh tubuhnya. Tapi kalimat itu tak urung membuat Reyna tersipu. Merasa bangga, tersanjung karenanya.
"Kapan datang?" tanya Reyna. Mulai berani lagi menatap mata lelaki di sebelahnya.
"Belum seminggu," jawab Mozes.
"Mencariku?" Reyna tersenyum. Sisa genitnya di masa muda.
Mozes tertawa berderai-derai. Lalu katanya pelan, "Aku turut berduka atas meninggalnya suamimu," tawanya menghilang.
Reyna tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga meluncur dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata Reyna tampak berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Mozes tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya.
Reyna dan Mozes. Mozes pekerja film yang bukan saja terampil, tetapi juga cerdas dan kritis. Reyna pengelola media sebuah perusahaan terkemuka. Mereka bertemu karena Reyna harus membuat sebuah film sebagai media pencitraan perusahaannya. Reyna yang istri dan ibu seorang anak, dan Mozes yang duda. Dua orang muda yang masih segar, bersemangat, dan menawan. Dua orang yang kemudian saling jatuh cinta.
Reyna hampir saja meninggalkan Braham ketika itu. Ibu muda Reyna merasa menemukan sampan kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya yang kelam bersama Braham. Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan mengantarnya ke dermaga damai tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua Mozes.
Tetapi sampan kecil itu ternyata begitu ringkih. Ia tak mampu menyangga beban berdua. Ia hanya ingin sesekali singgah, bermesra dan bercinta tanpa harus mengangkutnya. Mozes tak menginginkan ikatan apa pun antara dirinya dan Reyna. Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun ia ingin dan kembali kapan ia rindu. Kebebasan yang tak bisa Reyna terima. Maka sebelum perjalanan dimulai, ia memutuskan undur diri. Perempuan itu menyadari, bukan laki-laki seperti Mozes yang ia ingini untuk membebaskan dari derita malam-malamnya. Mozes berbeda dengan dirinya yang membutuhkan teman seperjalanan, ia hanya mencari ruang untuk membuang kepedihan dan mencari hiburan. Tak lebih.
"Berapa lama kamu akan tinggal?" tanya Reyna setelah gejolak perasaannya mereda.
"Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa umurku," jawab Mozes, tanpa senyum, tanpa memandang Reyna. "Banyak hal yang memberati pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama ini."
"Itu sebabnya kamu kemari?"
"Jakarta semakin sesak dan panas. Sementara Jogja masih tetap nyaman buat berkarya. Jadi kuputuskan kembali," lanjut Mozes tanpa mengacuhkan pertanyaan Reyna. "Begitu kembali seseorang bilang padaku, kamu sering di sini sore hari."
"Maka kamu mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan dulu."
Mozes menggeleng.
"Atau membangun hubungan baru."
Mozes menggeleng lagi, "Tidak juga. Aku tidak butuh hubungan seperti itu. Aku hanya butuh teman ngobrol…"
"Teman bermesra, teman bercinta yang bisa kamu datangi dan kamu tinggal pergi. Tanpa tuntutan, tanpa ikatan!" potong Reyna. "Itu hubungan yang sejak dulu kamu inginkan bersamaku kan? Seperti sudah kubilang dulu, aku tidak bisa. Aku sudah memilih."
Kebekuan kembali merejam perasaan kedua orang tua itu. Langit perlahan kehilangan warna jingga. Satu per satu lampu di sekeliling mulai menyala. Ada rangkaian lampu-lampu kecil berbentuk bunga di samping tikungan yang menyala bergantian, hijau, kuning, merah. Ada lampu besar dengan tiang sangat tinggi yang menyorot ke taman, ada pula lampu berwarna temaram yang semakin menggumpalkan kesenduan.
Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Terlalu banyak hal terjadi pada mereka dan sekian lama masing-masing memendam untuk diri sendiri. Mestinya pertemuan sore itu adalah untuk berbagi cerita bukan justru bertengkar kemudian saling diam. Atau mungkin karena perpisahan yang terlalu panjang, keduanya tak tahu apa yang harus diceritakan terlebih dahulu.
Mungkin memang begitu, karena senyatanya Reyna ingin berkata, beberapa tahun setelah perpisahan mereka ia masih juga mencari kabar tentang Mozes. Hingga suatu hari, satu setengah tahun setelah mereka tidak bersama seorang teman mengabarkan bahwa Mozes pulang ke Jakarta. Tak lama setelah itu, ia mendengar Mozes tengah melanglang buana. Buana yang mana, entah. Reyna merasa tidak perlu lagi mencari tahu keberadaan laki-laki itu. Meski tak jarang bayangan Mozes tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya begitu Braham mulai menjamah tubuhnya dan membuat Reyna kesakitan tak terkira.
Cerpen Sulialine Adelia
Terdengar Mozes menghela napas. Panjang. Perlahan gumpalan kemarahan yang menyesaki dada Reyna mereda. Namun hasrat untuk terus ngobrol telah tak ada. Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih mengental di antara keduanya. Hingga Reyna minta diri, dan beranjak pergi.
Hari-hari setelah kejadian itu, Reyna tak pernah tampak di depan Vredeburg lagi. Tetapi Mozes masih sering terlihat di salah satu bangku kayu di sana. Sendiri di tengah orang-orang muda yang tengah bercanda dan bercinta. Menghisap rokok kreteknya. Sesekali mengibaskan rambut putihnya yang panjang, tersapu angin menutup wajah tirusnya.
Begitu perasaan Reyna membaik dan siap bertemu Mozes lagi, ia kembali pada rutinitasnya, menunggu senja jatuh di Vredeburg. Namun ia harus menelan kecewa karena Mozes tak dijumpainya. Bahkan telepon genggamnya tak bisa dihubungi.
Suatu sore, di tengah keputusasaan Reyna, seorang teman mendatangi dan mengulurkan sebuah surat kepadanya. Surat dari Mozes!
"Hari-hari itu dia mencoba menghubungimu, tetapi HP-mu tak pernah aktif," kata laki-laki itu. "Ginjalnya tak berfungsi, serangan jantungnya kambuh, tekanan darahnya tidak stabil…"
Reyna tak bisa mendengar lagi penjelasan laki-laki itu. Bahkan ketika si teman menyerahkan satu dos buku dan tas berisi kamera warisan kekayaan Mozes untuknya, Reyna belum kembali pada kesadarannya.
Senja beranjak renta. Seperti Reyna merasai dirinya. Sepasang remaja di sebelahnya telah pergi. Begitu juga sekumpulan anak muda yang nongkrong di atas motor mereka, mulai menghidupkan mesin kendaraannya. Sisa adzan sayup terdengar dari Masjid Besar. Sebaris kalimat di surat terakhir Mozes meluncur dalam gumaman.
…maghrib begitu deras, ada yang terhempas, tapi ada goresan yang tak akan terkelupas.*
Langganan:
Postingan (Atom)